Diskusi Online Seri 9 “Kearifan Lokal Dalam Adaptasi dan Mitigasi Bencana”

Pada Sabtu, 22 Mei 2021 pada pukul 09.00 WIB hingga pukul 11.00 WIB dilaksanakan Diskusi Online Seri 9 oleh Pusat Studi Bencana LPPM UNS dengan Tema Kearifan Lokal dalam Adaptasi dan Mitigasi Bencana. Adapun kegiatan ini diikuti sebanyak 277 peserta dari seluruh penjuru Indonesia meliputi mahasiswa, dosen, pusat studi bencana, badan penanggulangan bencana daerah, serta instansi dan perguruan tinggi lainnya. Kegiatan Diskusi Online ini merupakan kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Bencana LPPM UNS.

Kegiatan Diskusi Onlne 9 dengan Tema Kearifan Lokal dalam Adaptasi dan Mitigasi Bencana ini disajikan oleh Dr. Imam Hilman, S.Pd, M.Pd (Jurusan Pendidikan Geografi Universitas Siiwangi ) yang menyajikan materi dengan topik Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Adaptasi dan Mitigasi Bencana dan Dr. Yasin Yusup, S.Si, M.Si (Pakar PSB LPPM UNS) yang menyajikan materi dengan topik Empan Papan-Empan Wektu: Mekanisme Adaptasi Hidup Selaras Bersama Ancaman dan Berkah. Adapun kegiatan ini dimoderatori oleh Seno Budhi Ajar, S.Pd, M.Si selaku Staf di PSB LPPM UNS.

Dr. Imam Hilman, S.Pd, M.Pd menyajikan materi dengan topik Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Adaptasi dan Mitigasi Bencana. Dr. Imam Hilman menyampaikan bahwa pada dasarnya Adaptasi dan Mitigasi Bencana merupakan sebuah interaksi antara kearifan lokal dan adat masyarakat suatu wilayah. Kearifan lokal dan adat masyarakat mengenai adaptasi dan mitigasi bencana muncul berdasarkan karena pengalaman-pengalaman yang telah dilalui oleh masyarakat. Dari pengalaman masyarakat mengenai peristiwa bencana kemudian muncullah proses adaptasi dalam menghadapi bencana.

Dalam kegiatan Do 9 Pusat Studi Bencana Dr. Imam menyampaikan beberapa contoh kearifan lokal suatu wilayah mengenai bentuk adaptasi masyarakat terhadap suatu bencana salah satunya adalah kearifan lokal di Sunda. Di Sunda sendiri adaptasi masyarakat akan suatu bencana sudah muncul sejak dlu terbukti dengan adanya pepatah masyarakat Sunda seperti “Gunung teu meunang dilebur, sagara teu meunang diruksak, buyut teu meunang dirempak” yang artinya jangan merusak alam seperti gunung, kita harus bisa selaras dengan alam. Filososi massyarakat Sunda yang merupakan bukti bahwa sejak dulu sudah terdapat bukti adaptasi masyarakat “Alam jeung lingkungan leuwung lain tumpakeun tapi leuweung rawateun rohmateun” yang artinya alam dan lingkungan hutan bukan untuk dihuni melaikan hutan yang harus dijaga.

Dr Iman Hilman, S,Pd., M.Pd menyampaikan salah satu hutan adat di ciamis merupakan salah satu yang masih terjaga karena hutan ini memiliki peraturan yang ketat. Hutan ini telah dinaungi oleh masyarakat adat di dukung dengan pemerintah maka hutan ini lebih terjaga. Dalam hutan ini memiliki slogan “Leuwung Ruksak caik beak manusia balangsak”. Berbagai cara dan bentuk untuk sebagai penghormatan masyarakat adat kuta terhadap hutan.  Tidak hanya hutan tersebut di Jawa Barat terdapat Kampung naga mengacu pada kondisi morfologi gawir (tebing curam). Kampung ini memiliki konsep pola ruang yang baik. Sistem penyaluran air yang baik dan dijaga oleh mayarakat adat. Masyarakat kampung naga tidak percaya dengan adanya bencana kecuali yang disebabkan manusia.

Kearifan lokal masyarakat sunda tata wayah, tata wilayah dan tata lampah. Tata wilayah di sunda terdapat leweung larangan, tuturan, dan baladaheun. Masyarakat yang dimaksud dalam menjaga alam meliputi masyarakat adat, mereka yang menghuni, mereka yang tau masalah. Benang merah cerita sukses peran masyarakat ada kelompok yang marjinal, provokator, advocator, sponsor serta pemerintah. Di akhir materi Dr Iman Hilmas, S.Pd., M.Pd menyampaikan bahwa Kita harus belajar kepada masyarakat adat, sebab urusan kearifan itu hal yang positif namun aturan adat tidak sesuai dengan pemerintah atau masyarakat umum sehungga harus ada kolaborasi local wisdom dengan hukum yang berlaku.

Bapak Dr. Yasin Yusup, S.Si., M,.Si selaku narasumber kedua dari Pusat Studi Bencana menyampaikan mengenai empan papan empan waktu yang hampir sama dengan adat sunda yaitu tata wilayah. di Indonesia bahaya mengacu pada kerawanan bencana. Risiko lebih dipengaruhi oleh kontruksi sosial, tidak hanya pada kontruksi alamiah.  Mengutip dari Gaillard, local wisdom merupakan sebagai kajian penilaian risiko. Culture kadang bertentangan dengan religius karena banyak yang dianggap musrik. Kadang local wisdom membantu mitigasi  namun juga dapat sebaliknya. Sebagai contoh masyarakat siemule memiliki syair turun temurun sebagai bentuk kearifan lokal yang membantu masyarakat dalam mitigasi bencana tsunami aceh. Dalam syair ini menggambarkan mengenai mitigasi bencana tsunami. 

Bapak Dr. Yasin Yusup, S.Si., M,.Si  menjadikan bencana letusan gunung merapi salah satu objek kajian. Dalam kasus merapi tahun 2006 sebagai hari kemenangan bagi kearifan lokal, namun tahun 2010 kearifan saintifik lebih dipercya karena mbah marijan sebagai simbol menjadi sebagai korban. Budaya dapat dimasukan dalam peta risiko bencana Gunung Merapi berdasarkan perbedaan setiap wilayah. Intesitas local wisdom dipetakan dan dioverlaykan menjadi peta kerentanan sosial budaya. Pada daerah tertentu kepercayaan sangat subur, hal ini berawal dari sejarah geologi. Kota boyolali sebagai kota yang aman karena adanya geologi patahan dan gunung tua yang dihuni oleh baurekso lebih tua, masyarakat lokal menganggap jika arah letusan melewati baurekso yang lebih tua dianggap “Saru” untuk itu boyolali dianggap aman oleh masyarakat lokal. Pada zaman sekarang penduduk semakin rentan karena penduduk semakin mendekati bahaya letusan gunung merapi. Di Merapi salah satu tokoh yang dijadikan sebagai simbol adalah Mbah Marijan. Adanya kepercayaan “rasa aman” membuat masyarakat wilayah Mbah Marijan tidak mau pergi dari wilayahnya. “rasa aman” muncul akibat adanya berbagai peristiwa terjadi yang membuat masyarakat wilayah Mbah Marijan lebih beruntung dari wilayah di Merapi lainnya.

Di akhir presentasi Bapak Dr. Yasin Yusup, S.Si., M,.Si menyampaikan beberapa kutipan dari berbagai tokoh masyarakat di Merapi seperti “Hidup selaras dengan acaman” diterapkan pada Desa Glagah Harjo serta kutipan “Waktunya menyingkir ya menyingkir dan waktunya kembali ya kembali tidak perlu meninggalkan pertanian”. Ancaman sekaligus sebagai berkah karena material sebagai berkah oleh masyarakat sekitar. Karena bahaya itu momen saja dari lentusan masih ada momen lainnya yaitu momen sumberdaya. Memasukan ide relativitas tentang ruang dam waktu cukup lambat, hal ini semoga dapat menjadi penting kedepannya. Untuk itu Empan papan dan empan waktu sebagai kesadaran dan kesiapan.

Hubungi Kami

Pusat Penelitian dan Penanggulangan Bencana 
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
Universitas Sebelas Maret

No. Tlp:
+62 895-0617-7523

Email:
p3b.lppm@unit.uns.ac.id

Alamat:
Jl. Ir. Sutami No.36A, Jebres, Kec. Jebres, Kota Surakarta, Jawa Tengah 57126

© 2023 Created with Royal Elementor Addons